”Atas nama penderitaan saudara-saudara kita di Palestina dan Lebanon, mari boikot produk Amerika,” demikian bunyi pesan pendek (SMS) yang saya terima pekan lalu. Pesan itu datang hanya beberapa jam setelah Israel dengan bengis membunuhi warga sipil dan kanak-kanak di Kota Qana, Lebanon. Sehari sebelumnya, di situs IslamOnline.net, saya membaca beredarnya SMS dengan ajakan sama. ”Bom boikot kita, adalah jawaban bom-bom pintar yang mereka curahkan.” Tulisan itu pun mengabarkan, pesan itu beredar secara masif dari satu ke lain seluler di negara-negara Timur Tengah. Ternyata, akal sehat (common sense) memamg berlaku di mana-mana. Muak atas kebiadaban yang dipertontonkan Israel, membuat banyak masyarakat dunia tergerak untuk bicara boikot produk negara tersebut. Juga mentornya, AS. Lihat saja di ranah maya yang kini dipenuhi ajakan serupa. ”Jika kita tak mampu berdampingan dengan saudara kita di Lebanon dan Palestina untuk memerangi Israel, mari dukung mereka dengan dana, dan goyang perekonomian musuh-musuh mereka,” tulis seorang blogger dengan antusias. Dia mencontohkan, betapa solidaritas Muslim sedunia sanggup membuat perekonomian Denmark goyah, saat negeri itu tersandung urusan kartun yang menghina Nabi Muhammad. Bahkan, tak kurang dari intelektual dunia Arab, Profesor Fuad Thaha Abdul Halim, menyatakan cara itu terbukti efektif. ”Suksesnya terbuktikan, ketika kita sama-sama memboikot restoran Amerika dan Denmark, saat terjadinya penghinaan itu,” kata Fuad dalam sebuah seminar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, Sabtu lalu. Bila di dunia Arab hal demikian bisa sukses, bagaimana di Indonesia? ”Mengapa tidak? Kuncinya hanya satu, kemauan,” kata pekerja pers, Farid Gaban. Menurut Farid, tentu saja banyak cara untuk menunjukkan ketidaksetujuan kepada cara-cara AS dan Israel. Tetapi, menurutnya, dari sekian banyak cara itu, boikot menjadi satu-satunya cara paling sederhana yang bisa dilakukan semua orang, pada saat itu juga. Bahkan, berbeda dengan sejumlah ulama tradisional yang mempertanyakan efektivitas boikot, Farid justru berharap banyak akan dampaknya. ”Bagi Indonesia sendiri, cara ini bisa memperkecil tingkat konsumsi dan ketergantungan akan barang asing,” kata dia. ”Termasuk barang-barang yang bahkan sebenarnya tidak benar-benar diperlukan.” Dalam jangka pendek, Farid setuju jika boikot itu akan berdampak. Misalnya, memungkinkan terjadinya PHK pada perusahaan-perusahaan milik atau yang memiliki hubungan dengan pusatnya di AS. Tetapi, kata Farid, mudharat itu akan berubah manfaat, jika warga kita bisa mengalihkan konsumsi ke barang-barang sederhana produksi dalam negeri. ”Bukankah justru nantinya akan menggerakkan sektor riil kita?” kata Farid. Pertanyaannya, manakah yang lebih efektif, memboikot satu dua produk, atau semua poduk AS dan sekutunya secara menyeluruh? ”Sebaiknya menyeluruh,” kata Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Luthfi Hasan Ishaq. Menurut Luthfi, hanya dengan boikot yang menyeluruhlah, negara tersebut bisa merasakan dampaknya. Namun, dalam soal ini, Luthfi berbeda dengan Farid. Menurut Farid, boikot dengan tujuan politik memang tidak perlu menyeluruh. Meski tujuannya adalah tekanan ekonomi-politik, sisi simbol perlawanan pun tak kalah penting. ”Dengan boikot satu dua merek, terutama yang menjadi ikon, sudah cukup,” kata Farid. Cara itu, menurutnya, sekaligus akan membuat aksi boikot lebih efektif, fokus, dan massif. Ia mencontohkan, daripada membuat daftar panjang produk AS yang akan diboikot, lebih baik fokus untuk menghancurkan satu dua merek, misalnya, McDonald’s, Marlboro, Coca Cola, atau Shell. ”Seperti halnya perang, jangan membuka terlalu banyak front sekaligus. Cukup satu atau dua front saja, yang strategis,” kata alumnus dan pendiri beberapa media cetak nasional itu. Farid mencontohkan sejumlah aktivis properdamaian internasional lintas agama, yang bertahun-tahun konsisten mengampanyekan pemboikotan Carterpillar, merek buldozer, yang dipakai Israel menggusur orang-orang Palestina dari tanahnya. ”Perusahaan itu masih bertahan, memang. Tapi, makin banyak orang yang kini mengenalnya sebagai simbol kebrutalan Israel,” kata dia. Sukses karena boikot diraih perusahaan Iran, yang sejak awal menyatakan diri sebagai pengganti Coca Cola. Zam Zam Cola, produsen dan merek minuman ringan itu, pada kuartal pertama 2003 saja mampu menyuplai setidaknya 10 juta botol minuman ke Arab Saudi. Dengan tingkat penjualan sebesar itu, menurut pimpinan perusahaan tersebut, Ahmad-Haddad Moghaddam, pendapatan tiap tahun mereka kini mencatat 162 juta dolar AS lebih. Awalnya, kata Ahmad, tentu saja kisah muram sebuah produk substitusi boikot. dsy